Kafe dengan desain minimalis tampak
sepi hari ini. Hanya beberapa orang saja yang sedang menikmati kopi hangat
maupun es kopi. Tak terkecuali Levi, seorang gadis berambut panjang menjuntai
hingga punggung, sedang duduk sambil memainkan garpu yang ia pegang. Levi yang menggunakan
pakaian kasual itu tampak melamun dan sesekali melihat ponsel miliknya. Sudah sekitar
15 menit dia duduk di sana sendirian. Tidak mempedulikan suasana sekitar. Ia justru
senang karena suasana yang sepi.
“Huft,”
ia menghela napas entah tanda bosan atau tanda kesal. Namun, sepertinya tanda
kesal terlihat dari raut wajahnya yang murung. Saat ia menoleh dari pandangan
garpunya ke luar jendela besar terlihat seorang pria memperhatikan nya, entah
sejak kapan. Levi menghela napas sambil mengendus kesal. Gadis itu mengambil
tasnya hendak pergi tetapi pria yang memperhatikannya itu sudah berdiri di
depan Levi, menatapnya kasihan.
“Ada
apa dengan tatapanmu itu?” tanya Levi dengan wajah sinis sambil berjalan ingin
pergi tetapi ditahan oleh pria di depannya.
“Duduk,”
perintah pria itu. Kini wajahnya berubah menjadi dingin karena respon Levi
tadi. Levi berhenti dan menatap pria di hadapannya. Lagi-lagi tersenyum sinis.
“Kamu
begini karena kasihan? Sudahlah, itu tidak perlu, lebih baik aku pergi jika
kamu masih di sini,” jawab Levi. Namun, pria itu tak peduli dan menarik lengan
Levi menjatuhkannya ke sofa yang tadi di duduki oleh Levi. Beberapa orang di
sekitar memperhatikan mereka. Namun, pria itu memberikan tatapan kepada mereka
yang membuat mereka takut.
“Gavin,
bisa kamu hentikan ini? Sudahlah, kamu tidak perlu sejauh ini,” ucap Levi
dengan nada pelan, tahu bahwa mereka telah menarik perhatian. Pria yang
dipanggil Gavin itu mendudukan diri di depan Levi. Ia menggeleng.
“Tidak,
kamu tanggung jawabku, apa yang terjadi padamu adalah tanggung jawabku, aku
wajib tahu dan menyelesaikannya,” kata Gavin akhirnya. Levi menatap Gavin dan
kemudian menggulung jaket jeans nya sampai siku. Memperlihatkan beberapa bekas
sayatan yang masih memerah.
“Lihat,
apakah kamu bisa menyembuhkan ini? Oh tidak, apakah kamu bisa menyembuhkan
sebab dari kenapa aku melakukan ini?” tanya Levi. Gavin menatap luka itu, ia
sedikit terkejut. Haruskah sejauh itu Levi bertindak? Separah apa yang dia
rasakan?
“Gangguan
kecemasan dan Compulsive Obsessive Disorder, itu diagnosis dokter, Vin,” ungkap
Levi akhirnya.
Ada
alasan mengapa Gavin sampai mencari Levi dan menatap kasihan pada Levi. Semalam,
gadis itu tiba-tiba tidak bisa dihubungi, ponsel tidak aktif, telepon ke rumahnya
pun Levi tidak pulang. Semalaman Gavin mencari Levi hingga ketemu di suatu
taman dengan bekas sayatan yang masih berdarah. Gavin membawanya pulang ke
apartemennya, merawat luka itu. saat itu Gavin tidak tahu ada apa dengan
sahabat kecilnya itu, yang ia pikirkan hanya segera mengobati luka itu. Melihat
Levi dengan keadaan yang sangat hancur, rambut berantakan, darah, air mata
mengalir, isakan pilu Levi, membuatnya merasa perih. Sebagai sahabat yang sudah
berjanji untuk selalu menjadi sahabatnya Gavin merasa gagal. Hingga tadi pagi
Levi pergi lagi dan akhirnya bertemu di cafe ini.
“Vin,
semalam aku menyedihkan ya?” tanya Levi dengan menatap Gavin. Pria itu hanya
menatap Levi dengan dingin. Levi tersenyum sinis lagi sambil emmainkan sedotan.
“Kamu
marah karena tidak kuberitahu ada apa denganku? Ayolah Vin aku bukan anak kecil
yang harus kamu awasi terus, aku 19 tahun,” ucap Levi.
“Bukan
masalah kamu besar atau anak kecil, aku tidak mengawasimu Levi. Aku melindungimu,
kau tahu bagaimana aku khawatirnya semalam?” Gavin akhirnya buka suara dengan
nada marah yang ia tekan agar tidak terdengar oleh yang lain. Levi tersenyum,
mood nya berubah, kini mata tampak berkaca-kaca.
“Aku
bersyukur punya teman sepertimu, selama ini kukira aku tidak punya teman,” ucap
Levi. Gavin menghela napas kemudian meraih tangan Levi.
“Tidak
ada yang sendirian di dunia ini,” ucap Gavin. Levi hanya memandang Gavin.
“Tapi,
aku kesepian Vin, tidak ada siapa-siapa di hatiku, tidak ada siapa-siapa yang
mengsisi diriku,” ucap Levi.
“Semalam,
aku merasa sangar cemas, kau tahu? Aku tidak tahu apa sebabnya, aku menyabuni
diriku berkali-kali, seolah-olah aku sangat kotor, hingga satu kali bilsan pun
tak cukup,” lanjut Levi. Gavin masih diam, ia mengingat-ingat apa yang terjadi
pada Levi.
Tepatnya
saat SMP gadis ini mengalami bullying,
parahnya saat itu Gavin yang berada di sekolah yang sama tidsk berbuat apa-apa
karena konflik mereka berdua. Sama sekali tidak punya teman, menjadi bahan
candaan, apalagi prestasinya yang menurun membatna dihujat habis-habisan. Bukan
dengan kata-kata saja tapi tindakan, Levi mencoba terlihat baik-baik saja. Ia terlihat
masih membenci Gavin saat bertemu dengannya waktu itu. Padahal Gavin sudah
mendenagr semua Bully-ing itu.
Barulah empat tahun kemudian mereka kembali bersama, menjadi sahabat, Gavin dan
Levi.
Trauma
dan kesehatan psikis Levi tak begitu saja hilang di tiga tahun sekolah SMP
tanpa teman, mendapat teman di SMA jangan anggap dia sembuh. Setiap bertemu
orang baru ia akan merasa cemas yang luar biasa. Melakukan tindakan
berulang-ulang sebagai akibat dari cemas. Semalam, seseorang telah merusak
kepercayannya. Sahabat yang selama ini menjadi ang terdekat dengannya berubah
dan tidak memandang Levi lagi. Percuma. Gadis itu pun”menggila”. Sejujurnya selama
ini apa yang dirasakan temannya terasakan pula oleh Levi, sebuah perubahan. Namun,
Levi hanya memendam perasaan itu tidak pernah berbicara dan akhirnya membuat
pikirannya penuh dengan pikaran-pikiran buruk. Akhir-akhir ini situasi yang
diahadapi Levi membuat self-esteem nya hilang. Merasa tidak berguna. Itulah
puncaknya.
Gavin
masih memandang Levi sambil mendengarkan ceritanya. Hey, mungkin ini cerita
klasik bagi mereka. Tapi pada kenyatannya seseorang dengan mental illness
membuatnya menjadi sangat masalah. Berakibat pada mental health nya. Kalian tidak
akan tahu kalau tidak merasakan.
Gavin
menemapatkan diri pada Levi, sahabatnya yang akan selalu ia lindungi.
0 comments:
Post a Comment