Monday, April 23, 2018

CERPEN: LEVI

           Kafe dengan desain minimalis tampak sepi hari ini. Hanya beberapa orang saja yang sedang menikmati kopi hangat maupun es kopi. Tak terkecuali Levi, seorang gadis berambut panjang menjuntai hingga punggung, sedang duduk sambil memainkan garpu yang ia pegang. Levi yang menggunakan pakaian kasual itu tampak melamun dan sesekali melihat ponsel miliknya. Sudah sekitar 15 menit dia duduk di sana sendirian. Tidak mempedulikan suasana sekitar. Ia justru senang karena suasana yang sepi.
“Huft,” ia menghela napas entah tanda bosan atau tanda kesal. Namun, sepertinya tanda kesal terlihat dari raut wajahnya yang murung. Saat ia menoleh dari pandangan garpunya ke luar jendela besar terlihat seorang pria memperhatikan nya, entah sejak kapan. Levi menghela napas sambil mengendus kesal. Gadis itu mengambil tasnya hendak pergi tetapi pria yang memperhatikannya itu sudah berdiri di depan Levi, menatapnya kasihan.
“Ada apa dengan tatapanmu itu?” tanya Levi dengan wajah sinis sambil berjalan ingin pergi tetapi ditahan oleh pria di depannya.
“Duduk,” perintah pria itu. Kini wajahnya berubah menjadi dingin karena respon Levi tadi. Levi berhenti dan menatap pria di hadapannya. Lagi-lagi tersenyum sinis.
“Kamu begini karena kasihan? Sudahlah, itu tidak perlu, lebih baik aku pergi jika kamu masih di sini,” jawab Levi. Namun, pria itu tak peduli dan menarik lengan Levi menjatuhkannya ke sofa yang tadi di duduki oleh Levi. Beberapa orang di sekitar memperhatikan mereka. Namun, pria itu memberikan tatapan kepada mereka yang membuat mereka takut.
“Gavin, bisa kamu hentikan ini? Sudahlah, kamu tidak perlu sejauh ini,” ucap Levi dengan nada pelan, tahu bahwa mereka telah menarik perhatian. Pria yang dipanggil Gavin itu mendudukan diri di depan Levi. Ia menggeleng.
“Tidak, kamu tanggung jawabku, apa yang terjadi padamu adalah tanggung jawabku, aku wajib tahu dan menyelesaikannya,” kata Gavin akhirnya. Levi menatap Gavin dan kemudian menggulung jaket jeans nya sampai siku. Memperlihatkan beberapa bekas sayatan yang masih memerah.
“Lihat, apakah kamu bisa menyembuhkan ini? Oh tidak, apakah kamu bisa menyembuhkan sebab dari kenapa aku melakukan ini?” tanya Levi. Gavin menatap luka itu, ia sedikit terkejut. Haruskah sejauh itu Levi bertindak? Separah apa yang dia rasakan?
“Gangguan kecemasan dan Compulsive Obsessive Disorder, itu diagnosis dokter, Vin,” ungkap Levi akhirnya.
Ada alasan mengapa Gavin sampai mencari Levi dan menatap kasihan pada Levi. Semalam, gadis itu tiba-tiba tidak bisa dihubungi, ponsel tidak aktif, telepon ke rumahnya pun Levi tidak pulang. Semalaman Gavin mencari Levi hingga ketemu di suatu taman dengan bekas sayatan yang masih berdarah. Gavin membawanya pulang ke apartemennya, merawat luka itu. saat itu Gavin tidak tahu ada apa dengan sahabat kecilnya itu, yang ia pikirkan hanya segera mengobati luka itu. Melihat Levi dengan keadaan yang sangat hancur, rambut berantakan, darah, air mata mengalir, isakan pilu Levi, membuatnya merasa perih. Sebagai sahabat yang sudah berjanji untuk selalu menjadi sahabatnya Gavin merasa gagal. Hingga tadi pagi Levi pergi lagi dan akhirnya bertemu di cafe ini.
“Vin, semalam aku menyedihkan ya?” tanya Levi dengan menatap Gavin. Pria itu hanya menatap Levi dengan dingin. Levi tersenyum sinis lagi sambil emmainkan sedotan.
“Kamu marah karena tidak kuberitahu ada apa denganku? Ayolah Vin aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi terus, aku 19 tahun,” ucap Levi.
“Bukan masalah kamu besar atau anak kecil, aku tidak mengawasimu Levi. Aku melindungimu, kau tahu bagaimana aku khawatirnya semalam?” Gavin akhirnya buka suara dengan nada marah yang ia tekan agar tidak terdengar oleh yang lain. Levi tersenyum, mood nya berubah, kini mata tampak berkaca-kaca.
“Aku bersyukur punya teman sepertimu, selama ini kukira aku tidak punya teman,” ucap Levi. Gavin menghela napas kemudian meraih tangan Levi.
“Tidak ada yang sendirian di dunia ini,” ucap Gavin. Levi hanya memandang Gavin.
“Tapi, aku kesepian Vin, tidak ada siapa-siapa di hatiku, tidak ada siapa-siapa yang mengsisi diriku,” ucap Levi.
“Semalam, aku merasa sangar cemas, kau tahu? Aku tidak tahu apa sebabnya, aku menyabuni diriku berkali-kali, seolah-olah aku sangat kotor, hingga satu kali bilsan pun tak cukup,” lanjut Levi. Gavin masih diam, ia mengingat-ingat apa yang terjadi pada Levi.
Tepatnya saat SMP gadis ini mengalami bullying, parahnya saat itu Gavin yang berada di sekolah yang sama tidsk berbuat apa-apa karena konflik mereka berdua. Sama sekali tidak punya teman, menjadi bahan candaan, apalagi prestasinya yang menurun membatna dihujat habis-habisan. Bukan dengan kata-kata saja tapi tindakan, Levi mencoba terlihat baik-baik saja. Ia terlihat masih membenci Gavin saat bertemu dengannya waktu itu. Padahal Gavin sudah mendenagr semua Bully-ing itu. Barulah empat tahun kemudian mereka kembali bersama, menjadi sahabat, Gavin dan Levi.
Trauma dan kesehatan psikis Levi tak begitu saja hilang di tiga tahun sekolah SMP tanpa teman, mendapat teman di SMA jangan anggap dia sembuh. Setiap bertemu orang baru ia akan merasa cemas yang luar biasa. Melakukan tindakan berulang-ulang sebagai akibat dari cemas. Semalam, seseorang telah merusak kepercayannya. Sahabat yang selama ini menjadi ang terdekat dengannya berubah dan tidak memandang Levi lagi. Percuma. Gadis itu pun”menggila”. Sejujurnya selama ini apa yang dirasakan temannya terasakan pula oleh Levi, sebuah perubahan. Namun, Levi hanya memendam perasaan itu tidak pernah berbicara dan akhirnya membuat pikirannya penuh dengan pikaran-pikiran buruk. Akhir-akhir ini situasi yang diahadapi Levi membuat self-esteem nya hilang. Merasa tidak berguna. Itulah puncaknya.
Gavin masih memandang Levi sambil mendengarkan ceritanya. Hey, mungkin ini cerita klasik bagi mereka. Tapi pada kenyatannya seseorang dengan mental illness membuatnya menjadi sangat masalah. Berakibat pada mental health nya. Kalian tidak akan tahu kalau tidak merasakan.
Gavin menemapatkan diri pada Levi, sahabatnya yang akan selalu ia lindungi.

0 comments:

Post a Comment